Para Pegawai Honorer Tegaskan Permohonan dan Petitum

Sahabat pembaca Info Honorer, sudah tahukah anda bahwa  Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (25/2/2020). Panel Hakim MK terdiri atas Ketua Panel Daniel Yusmic P. Foekh, didampingi dua anggota panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.


Diwakili kuasa hukum Paulus Sanjaya dan rekan, para Pemohon sebagai kumpulan pegawai honorer guru dan perawat, menegaskan ketentuan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN menimbulkan tindakan diskriminasi serta hilangnya jaminan pemenuhan hak asasi manusia, sehingga bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (4) UUD 1945 dan harus dimaknai dengan pengecualian terhadap tenaga honorer atau sebutan lain sejenis serta PPPK yang berasal dari tenaga honorer.
UU ASN merumuskan dua jenis hubungan kerja sebagai pegawai pemerintahan atau ASN, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu. Status dan kedudukan tenaga honorer tidak diatur dasar hukumnya dalam UU ASN. Hal ini tentu menimbulkan ketidakjelasan status serta hilangnya perlindungan tenaga honorer, baik dalam sistem kepegawaian negara, sistem hukum ketenagakerjaan maupun sistem hukum lainnya yang berlaku di Indonesia.
“Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait perlindungan terhadap tenaga kerja honorer dengan memberikan kesempatan untuk ikut seleksi CPNS. Namun para Pemohon selaku tenaga honorer tidak dapat mengikuti seleksi CPNS dikarenakan terbentur oleh persyaratan. Selain itu Undang-Undang ASN tidak mengatur suatu sistem peralihan dari aturan sebelumnya tentang proses pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS,” kata Hechrin Purba salah seorang kuasa hukum para Pemohon.
Di samping itu, PPPK tidak serta merta dapat diangkat secara otomatis menjadi CPNS tetapi harus mengikuti proses seleksi terlebih dahulu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu atau pegawai kontrak diterapkan atas jangka waktu dan selesainya pekerjaan. Sedangkan UU ASN tidak memberikan batasan waktu mengenai berapa lama seseorang dikontrak sebagai PPPK dalam suatu instansi pemerintah.
Sementara Paulus Sanjaya yang juga kuasa hukum para Pemohon, menyampaikan petitum para Pemohon yaitu meminta agar MK menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh para Pemohon. Kemudian menyatakan Pasal 6 UU ASN yang berbunyi “Pegawai ASN terdiri atas: a. PNS; dan b. PPPK” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan mengikutsertakan tenaga honorer atau sebutan lainnya yang sejenis sebagai Pegawai ASN.
Dalam petitum para Pemohon juga menyatakan Pasal 58 ayat (1) UU ASN yang berbunyi “Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah” bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan memberikan kesempatan tenaga honorer atau sebutan lain sejenis menjadi CPNS melalui suatu rekrutmen khusus.
Selain itu menyatakan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN yang berbunyi, “(1) PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. (2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undanganbertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan memberikan pengecualian terhadap para tenaga honorer atau sebutan lain sejenis dan PPPK yang berasal dari para tenaga honorer.
Sebelumnya para Pemohon perkara Nomor 9/PUU-XVIII/2020 yaitu Mahmudin dkk sebagai kumpulan tenaga honorer profesi guru dan perawat menguji Pasal 1 angka 4, Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN. Mereka berpendapat, ada ketidakjelasan dalam ketentuan UU ASN, yakni  sistem peralihan proses pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Dalam UU ASN sama sekali tidak ada pengaturan soal tenaga honorer. Ini mengakibatkan tenaga honorer kehilangan dasar dan kebijakan dalam hukum Indonesia.    
Menurut para Pemohon, dalam UU ASN dijelaskan bahwa PPPK tidak serta merta dapat diangkat secara otomatis menjadi CPNS tetapi harus mengikuti proses seleksi terlebih dahulu. Selain itu tenaga honorer tidak dapat mengikuti seleksi CPNS karena terbentur salah satu persyaratan yakni ambang batas usia.
Sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja pegawai kontrak diterapkan atas jangka waktu dan selesainya pekerjaan. Sedangkan UU ASN tidak memberikan batasan waktu mengenai berapa lama seseorang dikontrak sebagai PPPK dalam suatu instansi pemerintah. Oleh karena itu, banyak tenaga honorer yang telah menduduki jabatannya sejak lama namun ingin mendaftar menjadi CPNS terbentur dengan adanya syarat usia.

Berita ini bersumber dari Mahkamah Konstitusi RI

Posting Komentar

0 Komentar